Istri yang Suci (Jalan Cahaya)

Siapakah engkau, istri, yang menyelinap ke dalam kehidupanku? Kita hadir dari dimensi ruang dan waktu (kesilaman) yang berbeda, bahkan, saling tak mengenal. Tapi, kenapa disaat bersua, kita seketika saling mempercayai untuk membangun kebersamaan, dalam perjalanan?

Sungguh, begitu mulia, mahligai pernikahan. Pernikahan membuat kita saling terbuka, saling mempercayai. Tak mengherankan, bila Allah menempatkan jodoh (penikahan) pada kelompok ilmu-Nya yang tak dapat disingkapkan secara pasti oleh hamba-Nya.
Bayangkan, jika jodoh seperti juga kematian (roh), menjadi ilmu terbuka bagi hamba-Nya. Siapakah yang sudi memilih X yang masa kecilnya binal sebagai jodoh (sama dengan seseorang yang telah mengetahui tanggal dan hari kematiannya, niscaya berhura-hura untuk kemudian bertaubat saat menjelang waktu kematiannya).

Berbeda dengan malaikat, Allah memberikan hawa-nafsu (dalam tarekat inilah yang dilatih untuk menjadi an-nafs al-muthma'innah) terhadap manusia, sekaligus perangkat untuk mengendalikannya. Nafsu biologis, misalkan, disalurkan melalui pernikahan bagi yang mampu, meniru Adam dan Hawa.
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam... (QS.
2:223). Begitu pentingnya pernikahan, Allah menurunkan pedoman bagi
hambanya, seperti pada surah Al Baqarah.

Siapakah yang mengirimmu ke dalam kehidupanku, istri? Allah, betapa maha pengasih Dia, yang memberikanmu sebagaimana ketentuannya (sunnahtullah) agar mahluk hidup berpasang-pasangan. Tapi, kenapa di tengah rasa superioritas kaum pria, seringkali abai memahami bila istri merupakan 'pemberian'Nya? Betapa aku maupun kaumku, para lelaki yang merasa super, seringkali menghanguskanmu ke dalam api kemarahan.

Adakah superioritas kaum pria -- terutama di masa jahiliyah -- menyebabkan Allah memberikan perhatian khusus terhadap kaummu dengan menurunkan surat An-Nissa (wanita). Tak sekadar tuntunan menikah untuk berkembangbiak, di surat itu Dia memberikan pedoman tata cara memperlakukan kaummu, sebagai istri. Ini agar kaummu terhindar dari egoisme dan superioritas pria.

Di saat engkau berbaring di sisi tulang rusuk kiriku, betapa aku ingin
merumuskan hakikatmu. Tapi, mengapa sulit merumuskanmu: engkau, mahluk yang
kuat ketika lemah, begitu manja ketika tegar. Engkau, bahkan, lebih kuat menanggung penderitaan ketika sendirian. Sungguh berbeda dengan pria yang dicitrakan superior (adakah kekuatan pria justru menjadi kelemahan ketika ia ditinggalkan sendirian sehingga cenderung mencari kembali pasangan hidupnya demi menyokong superioritasnya?)

Kodrat kaummu serba kontradiktif. Itukah penyebabnya Nabi SAW berfatwa,
''sesungguhnya wanita seumpama tulang rusuk yang bengkok. Bila kamu
membiarkannya (bengkok) kamu memperoleh manfaatnya dan bila kamu berusaha meluruskannya maka kamu mematahkannya.'' (HR. Aththahawi). Namun, bagiku, istri merupakan cobaan bagi suami. Tak mengherankan, jika Allah menentukan posisi suami sebagai pemimpin bagi perempuan. Begitu juga memberikan pedoman terhadap muslim untuk mendapatkan istri yang tidak berasal dari kaum musyrik. Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman... (QS 2:221)

Mengapa demikian? Karena engkau, istri bersama kaummu, mendapatkan
kemuliaan-Nya. Sekadar menyebut contoh, Allah bersifat rahman dan rahim.
Perempuanlah yang memiliki (sifat) rahim. Di rahim, perlambang kasih, Allah
menumbuhkan janin. Dengan kasih dari pemilik rahim, anak-anak tumbuh,
menjadi muslim dan muslimah. Dengan anugerah kemuliaan semacam itu, kenapa masih ada perempuan alpa pada kesucian makna rahim, justru ketika memiliki rahim? Sesungguhnya dunia seluruhnya benda dan sebaik-baiknya benda ialah wanita (istri) yang sholeh (HR. Muslim)

Betul, engkau istri, bukan pemimpin utama. Tapi, sesungguhnya engkau
menentukan, ketika hanya menjadi posisi pendamping. Engkau, di saat menjadi istri yang suci, semestinya menjadi pengawas suami saat keliru melangkah.
Siapa yang dapat mengukur air matamu yang berderai di saat engkau berdoa memohon agar Allah menunjukkan jalan yang benar pada suami? Airmata yang selama ini dicitrakan sebagai kelemahan justru menjadi kekuatan untuk mengembalikan suami (keluarga) ke jalan yang benar.

Tapi, siapakah engkau, istri, yang menyelinap ke dalam kehidupanku?
Istri-istri yang suci justeru merupakan jalan bercahaya menuju-Nya.
Kesucianmu (banyak buku mengupas kriteria istri saliha sebagai pedoman)
menjadi suar di tengah keluarga (tempatmu berada) untuk membentuk keluarga
sakinah. Cahayamu menerangi perjalanan menuju pada-Nya. Kesabaran dan
keikhlasanmu mengelola rumah tangga membuat para suami (keluarga) merasa khidmat untuk beribadah. Sebaliknya, istri-istri 'musyrik', bagai lorong gelap yang menyesatkan. Karena itu, istri, jadilah engkau suci untuk menjadi jalan bercahaya bagi keluarga.

Wahai istri, di saat engkau menjadi jalan bercahaya, mengapa mesti
menggantinya? Bukankah sejatinya, aku mencintaimu karena cintaku pada-Nya yang memuliakanmu, istri yang suci!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komen apa saja terimakasih
NegeriAds.com solusi Berpromosi